About Me

My photo
Merauke, Papua, Indonesia
Aku menulis untuk mengapresiasi dunia yang warna-warni, seperti pelangi. Biarlah warna-warni itu tetap warna-warni. Tak ada yang mendominasi, tak ada pula yang termarginalisasi. Semua tampil apa adanya dan setara. Semua saling memahami dengan penuh empati. Harmoni pelangi warna-warni.

Monday, November 29, 2010

Tak Ada Mama Baru di Jogja, Anakku*

anak&istriku-dokument pribadi
Hari ini aku belum mendengar suara anak dan istriku. Memang, tadi pagi, seperti biasanya, aku sudah dibangunkan oleh sms mereka, tapi telinga ini rasanya belum puas kalau belum mendengar celoteh mereka secara langsung.
Ya, kami memang hidup terpisah. Aku di Jogja, dan anak-istriku di Merauke, kota kecil terpencil tempatku bertugas. “Papa usahakan kuliah papa cepat selesai,” begitu aku selalu meyakinkan harapan dan keinginan mereka agar aku cepat pulang.
Seperti yang kuduga dan seperti hari-hari biasanya, jam setengah tujuh sore, istriku menelponku.
“Halo, Ma…”
“Halo, Papa. Lagi apa?”
“Lagi tunggu telpon dari kalian berdua. Kalian lagi apa?”
“Ini baru selesai kasih suap Iel. Sore ini Iel makan banyak, Pa…”
“Iya, Papa,” anakku ikut nimbrung, suaranya terdengar agak jauh dari ponsel, “saya makan banyak sekali.”
“Wah, anak papa pintar. Makan pakai apa, Nak?”
“Telor mata sapi,” kali ini volume suaranya sudah lebih besar, mungkin mamanya sudah mendekatkan ponsel ke mulutnya.
Belum sempat aku mengajukan pertanyaan lagi, anakku yang baru berumur tiga tahun itu sudah bicara lagi, “Papa…, di Jogja papa sudah punya mama baru, iya?”
DEG!! Aku tersentak. Nafasku tercekat. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana, hingga akhirnya kudengar isteriku berteriak, “Iel…!!! Siapa yang bilang begitu?!”
“Saya punya teman-teman.”
“Siapa?”
Sayup-sayup aku mendengar anakku menyebutkan dua nama temannya, anak-anak yang juga masih berusia tiga tahun-an. Lalu aku mendengar isteriku mengomel, menyesalkan topik percakapan anak-anak yang masih tergolong balita itu.
* * *
Pertanyaan anakku terus terngiang di telingaku. Huuffhh…, kasihan anakku. Aku memang untuk sementara tidak bisa menjaga dan mendampingi mereka secara langsung di rumah. Tapi kenapa anak-anak balita itu sampai bisa mengkaitkan ketidakadaanku di rumah dengan “mama baru” untuk mengolok-olok anakku? Entahlah. Saya tidak tahu apa yang mereka makan setiap hari hingga mereka bisa berfikir sejauh itu.
Papa tidak butuh mama baru, Nak. Mamamu sudah lebih dari cukup untuk papa. Dia wanita hebat. Demi mimpi papa, dia rela ditinggal dan harus bersusah payah sendiri, menjadi mama sekaligus papa bagi Iel. Iel temani dan jaga mama ya… Papa  usahakan kuliah papa cepat selesai dan bisa bersama kalian lagi. Papa sayang kalian.
Aku pilih recipient, lalu ku tekan “send”.

*) diterbitkan pertama kali di kompasiana.com

No comments:

Post a Comment