About Me

My photo
Merauke, Papua, Indonesia
Aku menulis untuk mengapresiasi dunia yang warna-warni, seperti pelangi. Biarlah warna-warni itu tetap warna-warni. Tak ada yang mendominasi, tak ada pula yang termarginalisasi. Semua tampil apa adanya dan setara. Semua saling memahami dengan penuh empati. Harmoni pelangi warna-warni.

Sunday, November 7, 2010

Anakku Jualan Tempe*

cakrawalainfo.com
      Jam enam pagi. Putri sudah menyelesaikan tugas rutinnya, menggoreng tempe. Setumpuk tempe goreng kini sudah tertata rapi di loyang, tinggal dijajakan.
      “Bu, hari ini Ibu gak usah jualan. Ibu istirahat saja di rumah, biar cepat sembuh. Tempenya biar Putri bawa ke sekolah saja, nanti Putri titipkan di kantin.”
      “Kamu tidak malu, Nak?”
      “Tidak apa-apa, Bu. Pekerjaan halal kok, kenapa harus malu?”
      “Ya sudah, cepetan mandi sana, nanti kamu terlambat ke sekolah lho….”
      “Iya, Bu. Tapi, anu…, Bu, hari ini hari terakhir pembayaran u….”
      “Bu… Bu…!!” teriak Tonny tiba-tiba, memotong pembicaraan kakak dan ibunya.
      “Ada apa, Nak…?”
      “Sepatu Tonny jebol. Tonny gak mau sekolah!”
      “Jangan begitu, Nak. Kalau semua gorengan ini laku, besok Ibu belikan sepatu baru.”
      “Besok…??? Ya sudah. Kalau beli sepatunya besok, Tonny sekolahnya juga besok!” Tonny membanting pintu kamarnya keras-keras, tak bisa dibujuk lagi.
      Putri menuju ke kamar mandi. Dia tidak jadi memberi tahu ibunya, bahwa hari ini adalah batas akhir pembayaran uang sekolahnya yang sudah terhutang tiga bulan. Putri tidak tega melihat kondisi Ibunya. Ibunya yang sakit-sakitan - dan belum ada biaya untuk periksa ke dokter - kini harus berjuang sendirian, membiayai hidup dan sekolah kedua anaknya. Sejak bertengkar hebat dengan ayah malam itu - dan sejak itu ayah tak pernah pulang ke rumah - ibunya terpaksa berjualan tempe goreng keliling kompleks untuk menyambung hidup mereka bertiga.
      “Putri berangkat dulu ya, Bu.”
      “Hati-hati ya, Nak. O iya, Nak, pulang sekolah coba kamu mampir toko sepatu. Lihat-lihat saja dulu, kira-kira sepatu adikmu harganya berapa.”
      “Iya, Bu.”
____________________________________________________________
      “Ada barang baru, Budhe?”
      “Wah, kebetulan banget, Bos. Baru dapet tadi pagi. Masih orisinil. Jos banget deh pokoknya! Tapi agak mahal harganya, Bos. Mau?”
      “Berapa?”
      “Satu jeti. Orisinil beneran kok, Bos…”
      “Boleh-boleh.”
      “Kalo gitu, langsung saja, Bos. Nomer delapan ya, Bos….”
      Si Bos bergegas menuju pintu nomor delapan. Pelan-pelan dia buka pintu yang tak terkunci itu. Seorang gadis belia tampak duduk di pojok tempat tidur. Kepalanya tertunduk, sabagian wajahnya tertutup oleh rambutnya.
      Si Bos duduk di samping gadis itu. Dia langsung merangkul dan mencium gadis yang tampak lugu dan gemetaran itu. Si Bos tiba-tiba melompat, terperanjat, “Putri…????”
      “Ayah…????”

*diterbitkan pertama kali di kompasiana.com

No comments:

Post a Comment